Rabu, 30 Januari 2013


Hari sabtu siang, matahari di Medan begitu menyengat ketika aku berjalan pulang menuju rumahku sehabis pulang sekolah. Baru saja aku melangkahkan kaki ke dalam rumah, tiba-tiba Ibu memanggilku. Aku sedikit kaget, lalu aku menghampiri Ibu yang sedang duduk di ruang keluarga, kulihat dari wajah Ibu seperti ada sesuatu yang penting yang ingin Ibu bicarakan.
“Ada apa bu?” tanyaku pada Ibu. Ibu tak langsung menjawab, ia berpikir sejenak kemudian menghela nafas. “Kamu telepon saudara kamu ya!” nada bicara Ibu pelan sekali, hampir tak terdengar. “Saudara? Saudara yang mana Bu?” aku heran mendengar ucapan Ibu. “Saudara kamu yang di Purwakarta” Kali ini Ibu bicara dengan nada yang lebih tinggi.
Aku bingung sekali dengan apa yang Ibu katakan, Ibu menyuruh menelepon saudaraku yang tinggal di Purwakarta sedangkan setahuku aku tidak memiliki saudara di Purwakarta, semua saudaraku berada di Medan, lagi pula tak biasanya Ibu menyuruh menelepon saudaraku. Aku semakin bingung
“Memangnya kita punya saudara di Purwakarta?” aku menatap mata Ibu dengan penuh tanda tanya. “Iya, kamu punya saudara di Purwakarta, dia matua mu. Keluarga dari almarhum ayah, kamu harus menelepon matua, kamu harus tahu kalau kamu memiliki saudara yang tinggal di Purwakarta” Ibu menjelaskan dengan panjang lebar, namun itu tak membuatku mengerti, malah membuatku semakin bingung. Jika memang aku memiliki saudara di Purwakarta kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Kenapa aku tidak pernah mengenal mereka?
“Kenapa Ibu tak pernah cerita kalau aku memiliki matua yang tinggal di Purwakarta? Kenapa Ibu baru menceritakan nya sekarang?” Aku bertanya penuh selidik, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Kamu terlalu kecil untuk mengetahuinya” Ibu menjawab dengan begitu singkat. “Mengetahui apa Bu? Aku sudah kelas 6 SD, aku sudah cukup dewasa untuk mengerti” aku berusaha menahan emosi pada Ibu. “Ibu juga agak sedikit lupa, Ibu belum pernah bertemu dengan matuamu hanya lewat telepon saja Ibu berkomunikasi dengan dia, kemarin matua mu menelepon, dia bilang dia ingin bicara padamu, mungkin ia ingin mengenalmu” Kali ini penjelasan Ibu membuat ku mengerti. Tanpa pikir panjang aku langsung meminta nomor telepon matua ku, aku berniat akan menelepon nya nanti malam.
Ternyata sore harinya, matua ku menelepon ia ingin bicara denganku. Aku sedikit gugup, karena ini pertama kali nya aku berbicara dengan matuaku. “Apa kabar Eka?” dengan nada yang bijaksana ia menanyakan kabarku. “Baik” Aku menjawab seperlunya saja, aku tak tahu harus berkata apa. “Kamu ke Purwakarta ya!” tanpa basa-basi matua menyuruhku ke Purwakarta, aku terkejut sekali dengan perkataannya. Aku baru pertama kali berbicara dengannya, tapi ucapanya seolah-olah kami sudah lama kenal. “Memangnya ada apa?” Nada bicaraku menyiratkan kebingungan yang amat sangat. “Kamu tinggal di sini saja ya, nanti biaya hidup dan sekolahmu biar aku yang menanggungnya, ayah mu kan sudah meninggal kasian Ibu mu jika harus membiayai kamu dan kedua adikmu, biarlah kamu menjadi tanggunganku” Sekali lagi ia berbicara dengan nada yang penuh kewibawaan. Aku sekarang mengerti apa maksud matua ku. Aku kemudian berpikir sejenak, mencoba mempertimbangkan ajakan matua ku.
“Eka pikir-pikir dulu ya, Eka mau tanya Ibu dulu nanti jika sudah ada keputusannya Eka akan menelepon” Aku tak bisa mengambil keputusan sekarang, aku harus meminta pendapat Ibu telebih dahulu. “Baiklah, nanti ku telepon lagi” Jawab matua. Aku langsung menutup teleponnya dan berlari menghampiri Ibu.
Ku ceritakan semua yang kubicarakan tadi dengan matua kepada Ibu, Ibu mendengarkan dengan seksama tanpa memberi komentar. Baru lah setelah ku tanyakan pendapatnya, Ibu berkomentar. “Semua nya Ibu serahkan padamu, jika kamu ingin tinggal dengan matua, pergilah Ibu tidak keberatan, semua keputusan ada di tanganmu” Pendapat Ibu membuatku semakin bingung untuk mengambil keputusan.
Aku memikirkan kembali tentang tawaran matua. Jiwa petualang ku muncul, terbesit dalam pikiranku tentang kehidupan baru yang akan menyambutku. “Mungkin aku harus ke Purwakarta” gumamku dalam hati. Jika aku pergi ke Purwakarta dan tinggal bersama matua ku, pasti aku akan mendapatkan pengalaman yang besar dan tak terlupakan, siapa tahu Purwakarta bisa membuatku nyaman. Akhirnya ku ambil keputusan, dengan mantap aku katakan pada Ibu bahwa aku akan pergi ke Purwakarta dan tinggal bersama matua. Ibu hanya mengangguk dan membantu mempersiapkan kepindahanku.
Tadinya aku akan menelepon matua besok, namun aku tak sabar memberitahunya tentang kabar ini, kutelepon matua dan ku katakan aku bersedia tinggal dengannya.”Baguslah, kau bisa berangkat minggu depan” Dari nada bicaranya matua terdengar gembira mendengar keputusan ku. Hanya beberapa menit aku berbicara dengan nya, aku lalu bergegas menemui Ibu yang sedang mengemas pakaian ku.
“Bu, tak mengapa jika aku pergi dan meninggalkan Ibu?” Dengan susah payah kutahan agar air mataku tak menetes. “Ibu tak apa-apa Eka, asal kau bahagia Ibu pasti mendukungmu, lagi pula kita masih bisa berkomunikasi” Ibu terlihat sedih namun Ibu berusaha tegar di hadapanku. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, aku hanya mengangguk dan memeluk Ibu.
Aku dan Ibu sangat sibuk sekali mempersiapkan kepindahanku, rencananya aku akan ke Purwakarta hari minggu. Aku akan menggunakan pesawat, agar lebih aman dan cepat sampai.
Akhirnya, hari minggu tiba. Setelah semua nya beres aku lalu menuju bandara diantar oleh Ibu dan kedua adikku. Aku memakai topi berwarna pink, senada dengan warna bajuku. Di bandara Ibu menelepon matua, Ibu memberitahu matua bahwa aku sudah berada di bandara, Ibu juga tak lupa memberitahu matua tentang ciri-ciri fisik ku agar matua lebih mudah mengenaliku. Ibu juga memberiku sebuah karton yang bertuliskan nama marga ku “nadeak”, ibu menyuruhku mengalungkan karton itu jika sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta nanti.
30 menit aku menunggu keberangkatan ku, sampai akhirnya pesawat yang akan mengantarku tiba. Aku berpamitan pada Ibu dengan air mata berlinang, dengan terisak Ibu memberiku nasihat “Kamu disana baik-baik ya, jaga kesehatan mu kamu tidak boleh merepotkan matua mu, kamu harus menjadi anak yang baik jika nanti sudah sampai di Purwakarta jangan lupa beritahu Ibu” Ibu berbicara dengan susah payah menahan air matanya agar tidak terjatuh lagi.
Kulambaikan tangan pada Ibu sebagai tanda perpisahan, aku berjanji akan membuat Ibu bangga jika aku pulang nanti. Ada kesedihan dan kegembiraan saat aku meninggalkan Medan, aku bersedih karena aku harus meninggalkan Ibu dan kedua adikku tapi aku juga gembira karena aku akan memulai petualangan baru dalam hidupku.
Di pesawat aku lebih banyak diam, karena tak ada satu pun orang di pesawat itu yang aku kenal, aku lebih memilih tidur sepanjang perjalanan, atau sesekali aku berjalan-jalan dan ke kamar mandi agar tidak bosan.
4 jam perjalanan dari Medan ke Jakarta membuatku lelah, setelah turun dari pesawat tak lupa ku kalungkan karton yang bertuliskan marga keluarga ku yang Ibu berikan saat di Medan. Aku berjalan mantap menyusuri lorong-lorong di bandara, dan tak lama setelah aku sampai di bandara ada seorang Ibu yang menghampiriku dan memberitahu ku bahwa dia adalah matua ku. Aku menatap wajah matua ku, wajah nya berwibawa namun tegas. Ia kemudian mengajakku ke mobil nya dan kami bergegas menuju Purwakarta.
Di perjalanan aku lebih banyak diam, aku hanya bersuara jika ada yang bertanya kepadaku. “Bagaimana perjalanan nya? Capek?” tanya seorang perempuan muda yang tak lain adalah anak matua ku. Aku tak menjawab nya, aku hanya menangguk.
Setibanya di Purwakarta, aku langsung menelepon Ibu ku dan mengabarkan bahwa aku sudah sampai dengan selamat. Cukup lama aku berbincang dengan Ibu di telepon, lalu Ibu menyuruhku untuk beristirahat dan menutup teleponnya. Matua menyuruhku untuk mandi dan makan, aku pun menurutinya. Setelah mandi kulihat banyak makanan di meja makan, aku duduk menyantap makanan bersama keluarga baru ku.
Entah mengapa aku begitu sedih ketika menginjakan kaki ku di Purwakarta, aku menangis sepanjang hari. Aku merindukan Ibu dan keluarga ku di Medan, aku ingin menelepon Ibu tapi matua tak mengijinkan ku jika aku terlalu sering menelepon dan berbincang dengan Ibu. Aku tak tahu mengapa matua melarangku.
            Matua memang benar, disini ia menanggung semua biaya hidup ku. Termasuk sekolahku. Memang awalnya aku sangat sedih dan tak nyaman dengan keadaan ini, aku tak bisa jauh dari Ibu ku. Tapi aku mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Aku terbiasa hidup dengan matua ku dan aku pun terbiasa hidup tanpa Ibu ku.  Sejak tiba di Purwakarta dan tinggal bersama matua, aku tak di ijinkan lagi untuk menghubungi Ibu, matua menjelaskan kepada ku bahwa ini merupakan adat dan tradisi, karena ayah ku telah meninggal maka Ibu dan keluarga ayah sudah tidak memiliki hubungan lagi terlebih setelah Ibu memutuskan untuk menikah lagi dan memulai hidup baru bersama pria yang tidak ku kenal.
            Karena aku sudah tinggal di Purwakarta selama 6 tahun lebih bersama matua ku, aku harus mengikuti peraturan nya. Aku harus membiasakan diri, aku harus rela melepaskan Ibu dan kedua adikku. Aku tak menyangka, saat di bandara adalah pertemuan terakhir dengan Ibu, hingga saat ini aku tak pernah tahu lagi mengenai kabar Ibu dan dimana ia sekarang. Aku hanya tahu jika ia sudah menikah lagi.
            Aku memang merindukan Ibu, tapi keadaan memaksaku untuk tak berhubungan lagi dengan nya. Aku berjanji pada diriku sendiri, jika nanti aku sudah sukses aku akan pergi ke Medan dan menemui Ibu.

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Tiara's Diary
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
people always judge me before they know me. But, who cares?
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Tick Tock

Share

Share

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail